BPK Beber Hasil Audit Laporan Keuangan Kota Medan : Dana Reses dan Perjalanan Dinas Rp4,5 M Bermasalah

-Medan-

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumut, terhadap laporan keuangan pemerintah daerah tahun 2011, Kota Medan mendapatkan penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP). Namun, BPK Sumut masih mencantumkan catatan yang harus diklarifikasi terkait persoalan anggaran reses anggota DPRD Medan serta perjalanan dinas di jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Medan.

“Tahun ini Kota Medan mendapatkan penilaian WTP. Tetapi tidak WTP murni seperti Humbang Hasundutan. Untuk Medan dan Sibolga penilaian yang kita berikan WTP, tapi masih memuat paragrap berupa catatan untuk diklarifikasi dan kita menunggu klarifikasi selama 60 hari sejak kita memberikan hasil tersebut kepada mereka,” kata Kasubag Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Sumut, Mikael PH Togatorop, usai penyampaian hasil Laporan Keuangan Pemerinah Daerah (LKPD) Kota Medan tahun 2011 di kantor BPK Perwakilan Sumut, Jumat (8/6).

Dijelaskan Mikael, paragrap berupa catatan klarifikasi itu, disebabkan adanya hal-hal yang perlu diselesaikan seperti perjalanan dinas yang tidak pas atau tidak sesuai dengan aturan main, anggaran reses anggota DPRD Medan dan lainnya.

“Itu memang masalah kecil-kecil yang secara umum tidak terlalu mempengaruhi opini kita terhadap keseluruhan hasil audit laporan keuangan Kota Medan, dengan jumlah APBD Rp3,5 triliun. Namun, rekomendasi yang kita berikan itu harus diklarifikasi oleh mereka,” terangnya.
Dikatakannya, selama dua tahun sejak 2010-2011, BPK RI Perwakilan Sumut menemukan anggaran reses anggota dewan masih perlu dipertanggungjawabkan, karena dianggap tidak tepat. Begitu juga dengan perjalanan dinas yang dilakukan SKPD.

“Makanya, di dalam hasil audit itu kita berikan rekomendasi agar itu dipertanggungjawabkan dan kalau sudah dipertanggungjawabkan agar disetorkan kembali ke kas daerah,” jelasnya.

Untuk tahun ini, lanjut Mikael, perjalanan dinas yang harus dipertanggungjawabkan sebesar Rp2,5 miliar sedangkan untuk anggaran reses anggota dewan sekitar Rp2 miliar.

“Kalau detail anggarannya saya kurang begitu jelas, tapi untuk perjalanan dinas itu sekitar Rp2,5 miliar dan untuk reses Rp2 miliar. Kalau tahun 2010 saya sudah tak mengingatnya. Dan anggaran itu harus dipertanggungjawabkan, jika anggaran itu tidak dilaksanakan maka harus dikembalikan ke kas daerah. Dan saat ini memang sudah ada yang disetorkan dan itu sudah mulai dicicil untuk diselesaikan,” bebernya.

Namun, jika hasil rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti atau tidak dikembalikan ke kas daerah, maka untuk tahun depan pihaknya tetap akan mencatatkan hal itu pada hasil audit keuangan.

“Sepanjang belum diselesaikan, biarpun itu tahun 2008 kami akan menindaklanjutinya dan itu tetap akan menjadi PR mereka. Seperti anggaran reses anggota dewan jika tidak diselesaikan dan tidak disetorkan, tetap itu akan kami minta pertanggungjawabannya,” tegas Mikael.

Dijelaskan Mikael seperti anggaran reses anggota DPRD Medan, pihaknya menemukan adanya mekanime penyelenggaraan yang tidak pas. Di mana seharusnya dalam reses, anggota dewan itu tidak langsung mengelola anggaran reses melainkan dikelolah oleh dekretariat dewan dan anggota dewan hanyalah mendapatkan uang transportasi, namun kenyataannya di lapangan anggota dewan langsung mengelola anggaran reses.

“Seharusnya anggaran untuk sewa tempat, sewa kursi termasuk untuk makan dan minum, mekanismenya haruslah dikelola oleh sekretariat dewan, namun ini dikelola sendiri oleh anggota dewan,” jelasnya.

Selain itu, tambahnya, di saat BPK RI Sumut melakukan uji lapangan untuk anggaran reses banyak ditemukan yang tidak jelas, seperti untuk sewa tempat dan kursi. Dikatakannya, ada sewa yang seharusnya sudah tidak membutuhkan biaya karena sudah dilakukan dengan lobi-lobi, justru masih tetap dimasukkan dalam anggaran reses.

Begitu juga dengan anggaran perjalanan dinas, pihaknya masih menemukan banyaknya hal-hal yang tidak jelas, seperti perjalanan dinas ke Jakarta, ketika dilakukan uji lapangan dengan langsung melihat manifest penerbangan di Bandara, ternyata banyak yang tidak sesuai.

“Banyak kita temukan perjalanan dinas yang tidak sesuai dan ini kita pertanyakan. Kalau ternyata mereka tidak berangkat, berarti ini adalah kerugian negara dan harus disetorkan kembali ke kas negara,” tegasnya sembari mengatakan selain di Medan, persoalan tidak jelasnya anggaran perjalanan dinas dan anggaran reses anggota dewan juga terjadi di daerah lainnya.

Menanggapi masih ditemukannya ketidakjelasan dalam anggaran reses anggota dewan, Wakil Ketua DPRD Medan, Ikrimah Hamidy menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengembalikan dana sebesar Rp1,7 miliar seperti yang disampaikan BPK. Jadi sebelum pemaparan tersebut, pengembalian sudah dilakukan oleh 47 orang anggota dewan yang dinilai pertanggungjawabannya tidak benar.

“Sudah kami kembalikan. Setelah kami mendapat informasi itu, seluruh anggota dewan yang disebutkan langsung merapikan kembali kuitansi-kuitansi pertanggungjawaban yang dianggap benar oleh BPK. Jadi setelah berkoordinasi dengan sekretaris dewan (sekwan), semuanya harus mengembalikan rata-rata Rp35 juta per orang,” katanya.

Dijelaskannya, seluruh dana itu merupakan dana reses yang dilaksanakan selama 2011. Pengembalian dikarenakan bentuk pertanggungjawaban keuangan yang dianggap salah oleh BPK. Sesuai aturan BPK, pertanggungjawaban yang benar hanya kuitansi pembelian makanan, minuman, tenda atau penyewaan tempat. Sedangkan pembayaran lain yang tidak terduga sesuai permintaan konstituen saat reses, tidak bisa diterima BPK.

“Saat reses bertemu konstituen seringkali dana mengalir entah kemana-mana seperti permintaan pembelian sound system atau lainnya yang mau tak mau dipenuhi. Nah, uang keluar seperti itu dianggap tidak benar oleh BPK walaupun ada pertanggungjawabannya,” jelasnya.

Dia menilai hal itu bisa terjadi karena kesekretariatan dewan tidak memiliki aturan baku melaksanakan reses pribadi dalam hal pendampingan staf. Selama reses pribadi, kesekretariatan tidak ada mengutus staf untuk mendampingi anggota dewan sehingga bentuk pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.

“Yang ada hanya saat reses bersama dimana dua orang staf turut mendampingi seluruh anggota dewan pada masing-masing daerah pemilihan (dapil). Jadi wajar kalau pertanggunjawabannya tidak jelas,” ujarnya.

Ke depan, lanjutnya, aturan baku pelaksanaan reses pribadi ini harus ditetapkan oleh bagian kesekretariatan. Seperti di Jakarta dan Surabaya, pelaksanaan reses dilakukan oleh pihak ketiga sehingga proses pertanggungjawabannya jelas. Selain itu, sekwan harus bisa menentukan sistem apa yang akan dipakai agar pelaksanaan reses dengan pertanggungjawabannya lebih rapi.

“Kalau tidak tentu kami sebagai anggota dewan rugi karena sama saja dengan tidak melaksanakan reses. Kedepan kami sudah minta agar sekwan menentukan satu sistem tertentu,” paparnya.

Menurutnya, berdasarkan hasil tabulasi perbincangan dengan beberapa anggota dewan, harus ada pembenahan administrasi pelaksanaan reses dulu baru anggota dewan bersedia melaksanakan reses atau hanya melaksanakan reses bersama saja tanpa ada reses pribadi.

“Ada tiga opsi yang disebutkan saat berbicara dengan kawan-kawan lain yaitu pembenahan administrasi pada sekwan yaitu memastikan satu orang staf mendampingi satu orang dewan selama reses pribadi atau hanya ada reses bersama. Dan terakhir, sekalian tidak ada reses sama sekali,” pungkasnya.

Sumber : Sumut Pos, 9 Juni 2012